Rabu, 10 April 2013

Untuk pohon di tepi pagar

Ada sentuhan baru ketika kita mulai menanam, terlebih pada lereng lereng yang curam. Jauh dari itu memiliki fungsi dan manfaat untuk kehidupan. Dalam masa yang ku lupa ketika menyimak orang menanam dan penyatakan perlu lewat paruhnya yang tajam. Melayangkan ucapan berulang ulang sambil mengambil waktu ketika itu. Namun banyak yang tak bergeming, semua semangat musnah karena melihat rupiah, untuk menghapus dosa dibuatlah lahan sejuta gambut, yang sebenarnya pilu lalu.

Tak berhenti oleh itu, tanahnya digali, demi mencari bahan tambang, pasirnya dijual dengan tidak menampakkan dosa di wajahnya. kami yang segelintir dalam semangat hanya senyum dengan mata berkaca kaca, bahwa sebenarnya yang kau lakukan adalah salah. Kemudian gumam pohon : "Ku ingatkan kembali pada lembar yang belum dibuat setelahnya, bahwa nanti akan ada pahlawan yang dengan gigih tanpa takut, meskipun tubuhnya kecil, dia selalu mengeluarkan air mata dari lukanya selama ini."

"Semua lapisan langit melihatnya, darah yang menetes ke Bumi menaburkannya semangat, pohon pohon di lereng mendoakannya, karena dia lah harapan semua, orang yang dipandang bodoh dan miskin, tak bertenaga, semuanya musnah, yang dimilikinya hanya tayamum dan doa meski semua menyakitinya."

"Di sapunya sedikit demi sedikit rasa lusuh, disusunnya batu demi batu demi menggapai angan. Hingga hari ini beliau masih ada, bertemu kawan yang mendoakannya, di lereng sebelah bukit." Akar, kayu kayu ratusan tahun itu berbisik, menceritakan perjalanannya beberapa jam, ku buru lewat gambar di tepi pagar. Aku hampir menangis mendengarkan harapannya. Doa ku untukmu.

Salam berbagi,
Fadlik Al Iman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar