Senin, 30 April 2012

Memancing

memancing di hulu sungaiPerjalanan menyenangkan ketika mencari ikan di sungai. Enam kilo meter bukan jarak yang pendek, kami nikmati dengan bernyanyi. Keluarga Ibu Emon mengajak saya mencari ikan di sungai,  letak aliran sungai kebetulan membelah ladangnya. Ratusan pohon karet yang disadapnya, sesekali merapikan jalur yang tertutup semak dengan parang sekaligus mencari rotan. Bersamaan dengan Ibu Emon menyadap karet, saya diajak Fitri anaknya mencari ikan dengan memancing. Cukup seru, hal ini dikarenakan semua alatnya sederhana, nggak standar seperti mancing mania di televisi. Semuanya serba beli dan mahal. Dalam memancing kali ini hanya menyiapkan makanan ringan dan air yang dibawa dari rumah. Sebetulnya selain memancing bisa juga dengan menangguk, alatnya seperti serokan yang terbuat dari rotan. Ada juga yang menggunakan tombak kecil, membuat bubu dari bambu bahkan dengan menyetrum. Banyak orang menggunakan setrum untuk mendapatkan ikan yang berlimpah. Mencari ikan dengan menyetrum melanggar undang undang Konservasi No. 5 tahun 1990. Dari ikan yang besar, telur sampai makanan ikan semuanya mati. Semoga orang orang tidak menggunakannya lagi.



Fitri mengajarinya untukku. Dengan bambu seadanya, tali dan kail yang disiapkan serta makanan ringan sebagai umpan. Tehnik memancingnya cukup unik, kita masuk ke sungai, perlahan-lahan dan diam, tidak jauh dari tempat kita berdiri terdapat ikan-ikan yang mengendap endap di balik akar, daun yang tergenang dan batang batang pohon. Daerah Kalimantan Tengah memang banyak tergenang rawa. Fitri sering mendapatkan ikan, rupanya diperlukan latihan yang tekun dan kesabaran tingkat tinggi, nyamuknya cukup banyak. Hasil tangkapan dikumpulkan dalam keranjang dari rotan.


Fitri memperlihatkan hasil tangkapannyaIbu Emon berkisah, dahulu tidak perlu jauh jauh mencari ikan. Di dekat rumah juga banyak, namun karena hutan beralih fungsi menjadi kebun Sawit, semuanya berbeda. Orang orang banyak membeli ikan dari gaji di Sawit, membeli madu, membeli beras, banyak yang dibeli. Padahal ketika hutan ada dan terjaga semuanya lebih mudah. Air air juga tercemar akibat pipuk Perusahaan Sawit, sungai sungai menjadi tercemar sehingga ikan ikan semakin sulit di dapat. Ikan besar entah hilang ke mana, semuanya kecil kecil. Seperti di Pangkalan Bun, sungai tercemar akibat penggalian emas, udang udang juga sulit dicari. Usai berkisah Ibu Emon berlagu dengan logat khas dayaknya sambil menemani kami yang melanjutkan memancing. Sungguh keseharian yang sangat sederhana, di tengah hutan yang terus terjaga entah sampai kapan. Tahukan anda bahwa hutan rawa di Kalimantan semakin sedikit, sungai sungainya tercemar. Hal ini disebabkan karena Perkebunan dan Pertambangan yang hanya memikirkan uang dengan merusak hutan, sungguh, bukan masa depan yang lestari.


Salam berbagi,
Fadlik Al Iman


# Catatan Borneo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar