Jumat, 18 Oktober 2013

Mengenang 2001

Pagi yang biasa ketika embun dicemil pagi
Daun daun bergerak, tersenyum, aroma, auranya merona
Dua puluh satu tahun lamanya aku lahir
Sementara jalan merah memanjang menyambung dari rasa kerasa
Pucuk itu, yang tanpa kedip aku impikan, dibalut pita es

Senggamaku pada angan putri mahkota
Kilaunya dari bawah menembus dahan dahan bambu,
Memberi janji mamalia sehingga butiran es sebesar biji beringin yang dulu ada di halaman kuburan dekat ku tinggal
Semestinya hari ini, semestanya terasa
Untuk doa doa yang membaluriku sejak subuh, memotong syahwat

Pucuk pucuk semakin datar, meninggilah langkah di tanduk angan
Jutaan ton harapan yang mengalir dari leleh glaser mengalir ke kampung kampung

Matahari di benua hitam, menelanjangi hitam giginya putih
Di atas hukum rimba
Di atas bidikan kamera
Keringat mengucur bagai dosa yang gugur (ini semua semangat itu)
Sudah tujuh bulan lamanya kami melanggar hukum mahasiswa, reka dari lilitan harapan orang tua
Menagih sendiri "karena kami anak gunung"

Sepatu kulit buatan pabrik
Ransel Indonesia
matras Indonesia
Harapan membahana
Dua malam kami disini
Dalam dekapan tiga asmara menunggu giliran
Sayangnya kami tak punya uang
"Maka hobi yang kamu kehendaki senilai harga uang yang kau miliki."

Waktu berlalu, dingin mendekap
Langit semakin dalam karena gelap dimana mana
Bintang bermunculan, satu, dua, tak terhingga.
Laba laba tidur, es membeku, udara lewat dari telinga, bibir, hidung
Nyali hinggap di Austrian Camp, semut ciut rongga rongganya, menampik, ah.. toh malam tak memperlihatkan semuanya. Hanya ini yang aku mengerti. Hidupku, milikku, bukan untukmu atau milikmu.

Langit malam mengenakan kerudung hitam, sementara bintang bagai telinga mendengar doaku di ujung malam.
Ya Alloh, ini Camp terakhirku, mungkinkah disini terakhir nafasku, pasti semua kerabat memompa nyalinya untuk menyusul apabila aku jadi bangkai sendiri.
Ya Alloh, aku sendiri, bersama angin dingin, udara bersih, air segar bila diteguk, sangat jauh di benua sana, dimana sampah sampah campur kotoran, kaki lima jualan rayu. Mungkin takdirku disini. Dalam irama diam tanpa ada yang mengingat atau mungkin ingatan itu hanya satu huruf saja di awal nama "si "F" yang wafat" Kemudian semua berdoa. Sementara orang tuaku dagang ilmu di meja pemerintahan, menelan ludah karena anaknya mati di ketinggian.

Aku harus hidup, es yang ungu karena gelap, sama seperti warna anorakku yang hilang di pucuk punggungan.
Kemudian matahari, kemudian lelah, kemudian Abdul Azis membalap saya, kemudian kami singgah di pucuk gunung Kenya. Mengenang 2001 yang tak terhingga.

Salam berbagi,
Fadlik Al Iman


Tidak ada komentar:

Posting Komentar