Pada tahun 1972, meledak, perlawanan terhadap kaum sastrawan mapan, dan pengkultusan terhadap karya-karya bermutu berdasar standar mutu Horison. Remy Sylado melancarkan Gerakan Puisi Mbeling, sebuah gerakan perlawanan dalam puisi untuk menentang kemapanan dalam sastra Indonesia.
Dengan mengatasnamakan penyair muda, Remy menganggap puisi dan kepenyairan pada waktu itu tidaklah sehat. Ketidaksehatan yang terjadi merupakan akibat dari panempatan puisi pada tempat yang begitu tinggi.
Para penyair muda beranggapan bahwa puisi bukanlah sesuatu yang sangat mulia. Bahkan Remy Sylado (1974) beranggapan bahwa puisi harus diletakkan di telapak kaki. Orang tidak perlu terlalu serius dalam soal puisi. Menulis sajak tidak perlu dipandang sebagai pekerjaan yang sukar. Baik buruk puisi yang dihasilkan merupakan hal yang relatif sifatnya.
“Manusia lahir bukan untuk jadi sastrawan. Manusia lahir adalah untuk menjadi manusia,” ujar Remy. [1] “Hidup berada di atas junjungan kepalanya. Bukan seni yang harus dijunjungnya. Seni harus diletakkan di telapak kaki,” katanya lebih lanjut. [2]
Apa yang hendak didobrak oleh gerakan puisi mbeling adalah padangan estetika yang menyatakan bahwa bahasa puisi harus diatur dan dipilih-pilih sesuai stilistika yang baku. Menurut pandangan gerakan ini, bahasa puisi dapat saja diambil dari ungkapan sehari-hari, bahkan yang dianggap jorok sekalipun. Yang penting adalah apakah puisi yang tercipta dapat menggugah kesadaran masyarakat atau tidak. [3]
Puisi Mbeling awalnya adalah nama sebuah rubrik puisi pada majalah Aktuil asuhan Remy Sylado pada akhir tahun 1971.[4] Kata ‘Mbeling’ berasal dari bahasa Jawa yang berarti nakal, susah diatur, memberontak. Dapat dikatakan Puisi Mbeling ini adalah perlawanan dari anak-anak muda waktu itu karena gerah dengan aturan-aturan estetika puisi yang "njelimet" dan "ndakik-ndakik". [5]
Puisi Mbeling adalah bentuk puisi yang tidak mengikuti aturan-aturan pada penulisan puisi pada umumnya.
Salah satu ciri utama Puisi Mbeling menurut pengamat sastra Maman S. Mahayana adalah kuatnya semangat berkelakar, kata-kata dipermainkan begitu rupa, dan bentuk tipografi dimanfaatkan untuk mencapai efek kelakar itu. “Di balik kelakar itu, ada sesuatu yang hendak ditawarkan mereka, yaitu kritik sosial dan kritik atas dominasi etnis tertentu dalam perekonomian nasional.” [6]
Gerakan Puisi Mbeling disambut hangat oleh para penyair-penyair muda pada saat itu. Tak kurang dari Mira Sato (Seno Gumira Ajidarma), Yudhistira ANM Massardi, Noorca Marendra Massardi, Efix Mulyadi, Adhi Massardi, Mustofa Bisri (dengan nama samaran Mustov Abi Sri), Eddy Herwanto, dan Kurniawan Junaedhie adalah para ‘penulis tetap’ dalam rubrik itu.[7]
“Sampai sekarang corak kepenyairan mereka masih kental dengan nuansa mbeling dalam pengertian menyuarakan protes sosial dengan bahasa yang lugas dan terbuka,” kata Ahmad Gaus, seorang penyair.[8]
Yudhistira, tak sungkan-sungkan menyebut Remy Sylado sebagai gurunya.
“Guru saya satu-satunya cuma dia. Remy yang mengajarkan saya menulis sajak sesuka-sukanya,” kata Yudhis seperti dikutip Agus Sopian dalam “Putus Dirundung Malang” di Pantau Agustus 2001. [9]
Tentang Gerakan Puisi Mbeling, Seno Gumira Ajidarma ikut nimbrung:
“Kita boleh ragu, bahwa ini semua ada hubungannya dengan kesusastraan Indonesia, tapi kita harus percaya bahwa tiada ‘sastra’ lain lagi bagi kaum remaja saat itu selain Aktuil yang ditunggu-tunggu, bukan Horison yang waktu itu jadi panutan. Kritisi kelas wahid seperti A. Teeuw, meski menjulukinya sebagai ‘kelompok ria remaja’ dalam persajakan Indonesia, toh mengakui: Banyak di antaranya yang tidak kosong sama sekali dari kualitas persajakan, memiliki keterusterangan dan kesederhanaan sehingga bisa lebih mengena ketimbang amsal-amsal yang ruwet dan dicari-cari;”[10]
Penyair Heru Emka menyebut pengaruh Puisi Mbeling bahkan melintasi majalah Aktuil. Ketika berpindah ke majalah Top, Remy Sylado tetap melanjutkan Gerakan Puisi Mbeling dengan membuka rubrik bertajuk Puisi Lugu. Dari sini, sebagaimana dicatat oleh penyair Heru Emka, virus mbeling menyebar ke berbagai media massa: Stop, Astaga, Sonata, Yunior, dan lain-lain.
Gerakan Mbeling itu dengan cepat mewabah ke seantero negeri. Berbagai surat kabar mingguan yang terbit di Jakarta maupun di daerah juga ikut tertular virus Mbeling dengan membuka rubrik serupa. Begitu juga beberapa majalah remaja. [11]
Gelanggang Remaja Jakarta Selatan menerbitkan majalah stensilan Sirkuit yang dikelola Tjok Hendro, Dharnoto, Noorca Mahendra Massardi, dan Uki BS ikut membuka rubrik Puisi Sableng. Di situ dimuat puisi-Puisi Mbeling karya Prijono Tjiptoherijanto, Adri Darmadji Woko, Tjok Hendro, Noorca Marendra Massardi, dll.
Di Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi tanpa banyak lagak juga mengajak anak-anak muda menulis dengan berani. “Seniman asal Sumba ini menstimulasi anak-anak muda untuk mencipta puisi dalam ‘Persada Studi Klub’, dengan spirit pasang badan dan hati berani, dengan ‘menjauhkan’ puisi yang diruwetkan metodologi,” tulis pengamat seni rupa Agus Dermawan Tantono. [12]
Penyair Sapardi Djoko Damono berkomentar tentang fenomena itu:
“Puisi rupanya telah menjadi bentuk sastra yang menarik minat orang-orang muda, terutama dalam masa perkembangannya sebagai sastrawan. Mereka merasa tidak bisa cepat tampil karena terhalang oleh tokoh-tokoh yang sudah ‘mapan’. Tambahan lagi kebanyakan mereka menetapkan kepenyairan berdasarkan ada atau tidaknya sajak-sajaknya dalam majalah sastra satu-satunya, Horison …” [13]
(TO BE CONTINUED)
[1] Aktuil No. 136/1974
[2] Ibid
[3] Remy Silado: Sekapur Sirih Puisi Mbeling Remy Sylado, KPG 2004
[4] Pada tahun 1973 nama rubrik Puisi Mbeling berubah menjadi Puisi Lugu dan pada tahun 1975 berubah lagi menjadi Puisi Awam. Pada perkembangan selanjutnya nama Puisi Mbeling-lah yang kemudian menjadi terkenal dan menjadi nama puisi Indonesia populer sekarang ini.
[5] Arif Gumantia: Sejarah Istilah Puisi Mbeling di Indonesia
[6] Maman S. Mahayana: Makalah Seminar Tapak Budaya Paramadina: “Paradigma Abdul Hadi WM dalam Kebudayaan Indonesia” diselenggarakan Universitas Paramadina Mulya di Jakarta, 9 Juni 2008.
[7] Catatan kaki Sekapur Sirih. Remy Silado: Sekapur Sirih Puisi Mbeling Remy Sylado, KPG 2004
[8] Ahmad Gaus: Remy Sylado dan Gerakan Puisi Mbeling
https://ahmadgaus.com/2015/07/15/remy-sylado-dan-gerakan-puisi-mbeling/
[9] Yudhis kelak, dianggap sebagai seorang sastrawan yang menjembatani sastra adiluhung dan sastra pop atau mbeling. Ia juga dikenal sebagai sastrawan yang nakal, kemaki, dan ugal-ugalan.
[10] Seno Gumira Ajidarma, “Menghujat Generasi Munafik: Mbelingisme 23761” pengantar buku Remy Sylado: Potret Mbeling: Kumpulan Puisi, Jakarta tanpa tahun penerbitan
[11] Ahmad Gaus. Opcit.
[12] Agus Dermawan T: Yudhis, Kompas, 6 April 2024
[13] Sapardi Djoko Damono: Kesusastraan Indonesia Moderen: Beberapa Catatan, PT Gramedia, 1983.,
(Dari buku JEJAK LANGKAH PENYAIR MUDA 1970-AN
DI TENGAH PUSARAN ZAMAN, KJ, KKK, 2024)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar