Minggu, 02 April 2017

Kain Tenun Kesultanan Bima

Anakku Ranadilla tak meninggalkan kultur adat serta budaya dari Bapaknya yang asli Bima. Kain tenun Bima atau Mbojo kerap dipakainya ketika tidur, sedari bayi ia sudah terbiasa. Terasa sekali ketika memakai sarung, atau sedang tidak memakai sarung. Dia nampak lebih lelap dan tenang ketika sarung itu terbalut di tubuhnya.

Kain Mbojo yang berbahan dasar kapas serta pewarna alami, kini pada pewarnanya sudah makin jarang memakai pewarna alami. Hal tersebut karena pewarna alami makin sulit di dapatkan di alam, serta perlu proses dalam membuatnya.


Kain tenun Bima atau Mbojo digunakan oleh masyarakat Bima sebagai pakaian sehari-hari pada masa kesultanan Bima. Rimpu mulai dikenakan oleh wanita Bima dan sebagai identitas bagi wanita muslim Bima saat kerajaan Islam berdiri pada tahun 1640. Wanita muslim Bima yang tidak mengenakan rimpu saat keluar rumah, dianggap melanggar norma agama dan adat. Namun seiring berjalannya waktu, sekitar tahun 1960, rimpu mulai ditinggalkan dan wanita muslim lebih banyak mengenakan pakaian modern dan jilbab.

Kain tenun Bima atau Mbojo terdiri dari beragam jenis beserta fungsinya. Secara umum, ada empat jenis dan fungsi kain tenun Mbojo, yaitu :

1. Kain Tembe atau sarung.
2.Sambolo atau Destar, biasanya Untuk ikat kepala atau digunakan Untuk selendang di Dada bagi laki laki.
3. Weri atau ikat pinggang dari Malanta Salolo.
Weri merupakan sebuah ikat pinggang tradisional yang terbuat dari malanta salolo, yakni kain berwarna putih polos yang khusus ditenun untuk salolo. Warnanya beraneka ragam mulai dari warna cokelat, kuning dan merah hati. Ikat pinggang juga dihiasi dengan motif bunga satako, pado waji dan kakando
4.  Baju Mbojo.
Baju ini adalah hasil kreatifitas penenun wanita dari kain tenunannya. Motif dan warna dasar baju Mbojo hampir sama dengan kain tenun Mbojo namun dikombinasi dengan motif baru yang masih sesuai dengan norma adat.

Salam berbagi,
Fadlik Al Iman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar