HARI KELIMA: KAMI BELAJAR HIDUP TANPA MEREKA
I
Hari kelima. Lumpur mulai menjadi bagian dari kulit kami.
Sungai memang surut,
tapi sunyi justru meninggi,
seakan ingin memperlihatkan
betapa mudahnya penguasa
melupakan sebuah desa
tanpa merasa kehilangan apapun.
II
Di pengungsian, sandal-sandal basah
berbaris seperti bukti
yang tak pernah dipersidangkan.
Anak-anak bertanya
kenapa makanan tak kunjung datang,
dan kami, orang dewasa,
tak tahu bagaimana menjelaskan
bahwa yang lapar bukan hanya perut,
melainkan kepercayaan.
III
Tadi pagi seorang pejabat muncul di layar ponsel,
katanya: “semua sudah terkendali.”
Kami tertawa lirih,
bukan karena lucu,
tapi karena kata-kata itu
berjalan tanpa memandang ke arah kami.
Hutan kami dulu rubuh
oleh izin yang ditandatangani cepat,
lebih cepat dari bantuan
yang masih tersesat di ruang rapat.
IV
Malam kelima. Angin membawa bau anyir
yang tidak bisa disensor.
Jika pejabat itu akhirnya datang,
kami tak akan menyambutnya
dengan tangan terulur.
Kami hanya ingin tahu
apakah mereka sanggup menatap kami
tanpa menunduk,
tanpa menyalahkan cuaca,
tanpa mencari kamera,
dan tanpa takut mendengar nurani,
bahwa kami sudah berhenti
menunggu mereka sejak kemarin.
***
30 November 2025
Helvy Tiana Rosa

Tidak ada komentar:
Posting Komentar