Senin, 22 Februari 2021

KM 50

 KM 50 dan sekitar area Karawang adalah tempat strategis yang menjadi saksi sejarah perjuangan demokrasi, hak asasi, dan anti penjajahan politik. Temuan yang diduga proyektil di depan Masjid Al Ghammar Muhammadiyah Karawang Barat menandai awal drama kekerasan yang berujung syahid.



Setelah pengosongan dari para pedagang di rest area KM 50 tol Cikampek berlanjut penghancuran bangunan agar tak bisa digunakan, lalu penutupan bagi yang singgah, akhirnya bangunan itu kini seluruhnya telah diratakan dengan tanah. Habislah saksi bisu pembunuhan dan pembantaian enam anggota laskar FPI oleh aparat kepolisian.


Meskipun demikian sejarah akan tetap bisa lantang bercerita tentang kejahatan dan kebenaran. Secara fisik bangunan yang menjadi saksi hilang tetapi jejak tidak bisa dimusnahkan.


Terlalu terang peristiwanya, terlalu banyak saksinya, dan terlalu kentara rekayasanya. Biarlah semakin keras upaya menghapus, semakin sakit para pelaku dan pengatur kejahatan itu. Menghapus adalah wujud dari kegelisahan yang luar biasa.


Secara hukum merusak dan menghilangkan barang bukti tentu berisiko. Seluruh dinding bangunan rest area KM 50 adalah bukti. Penyidikan belum dilakukan, merusak dan menghilangkan barang bukti sama dengan menghalangi penyidikan. Ini akan menjadi kasus tersendiri.


Kelak ada dua yang bisa dibangun di area KM 50 setelah terkuak perbuatan pelanggaran HAM beratnya. Pertama adalah Monumen Enam Syuhada sebagai peringatan atas kebengisan melawan ketidakberdayaan. Kedua, Museum HAM ini lebih luas bukan saja peristiwa pelanggaran HAM atas enam laskar FPI tetapi banyak pelanggaran HAM lainnya.


Saatnya membuktikan kejujuran itu mampu mengalahkan kebohongan, keadilan dapat menggusur kezaliman, dan kekuasaan bertekuk lutut di bawah tajamnya pedang aturan hukum. Atau sebaliknya, sesungguhnya kita ini masih berada di alam mimpi tentang kisah-kisah yang baik-baik itu. Moga saja tidak. (*)


Bandung, 21 Februari 2021


M Rizal Fadillah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar