Sabtu, 01 Agustus 2015

Bianglala Yang Merdeka

Ditatap Pura, menatap alam jam sembilan malam.
Dingin menembus terhunus sampai ke anus, iya.., memang begitulah keadaannya.

Sementara bilangan manusia berkendara dengan lampu menembus muka sampai ke dalam mata, gemanya sampai telinga.

Pengeras suara menuntun dari parkiran, cahaya lampu kepala, berongga, ada yang redup, terang, hingga silaunya. Gadis gadis kerudung bawa bendera, ada juga berambut panjang, tersenyum menyambut  kawan sedepa yang beberapa saat lagi menjadi teman seperjalanan.

Tepat kosong kosong, kosong kosong kami beranjak, berangkat, meninggalkan pojok peredu di pinggir warung desa terakhir. Malam lalu bugil terlihat aurat dingin. Ampun ya.. Alloh, hamba bertaubat dan mohon restu agar sampai di puncak.

Selamat mengenang kemerdekaan yang di rebut puluhan tahun silam, dari teriakan Allohu Akbar kami mencapai kejayaan sementara.

Gunung Agung jadi saksi betapa rakyat merebut terang dari keadaan terjajah, terhianati, tersakiti kemudian merebut kembali sambil menghempas kehinaan dari bangsa yang pernah bernama terjajah.

Dari mulut kawah ini yang terwakili, dari lahar dalam tanah tentang gejolak jiwa, semangat menggapai puncaknya, bersamaan dengan sisa tenaga yang membuncah memberikan kalimat tegas, lugas, bercakrawala pada akhirnya. Ini lah kata "merdeka", sambil ku bawa bianglala turun mengajak seluruh pemalas antuk hidup lebih keras. MERDEKA ATAU MATI.

Salam berbagi,
Fadlik Al Iman

(Potret perjalanan hari kemerdekaan di gunung Agung Bali, kemudian disarikan dalam kata kata makna).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar