Kamis, 26 Desember 2013

Gemuruh

Di awal musim hujan, petir langsung masuk lewat jendela, lewat celah celah genting, lewat rasa yang takut terkena kutuk. Sementara angin menghajar setiap yang ada, penghalang bambu, dahan dahan kelapa. Satu malam kau menangis, sementara hujan yang turun terus tak memberi ruang. Kelapa kelapa tua jatuh tepat dimana muka kita tertidur diatas bantal, beberapa genting pecah.

Kau menangis menerawang jauh ke kampung, pada kampungmu yang dingin, molek, salju juga ekspresi vulcano dan tangan tangan cita rasa. Kau menangis membelakangiku, bagai meja tak terpakai. Anganmu membawa semisal gereja di punggungan itu, semisal berpisah setelah perang, semisal amarah mengajak satu, namun tak bisa.

Aku memang anak anak, belum bisa berpikir banyak, aku memang kecil belum bisa berbuat banyak, namun coba kau lihat beberapa kumbang menghampiri sinar di balkon atas, setiap pagi menanti maut dimakan kucing, aku rasakan aku lebih darinya, yang sekilas, yang terpenggal kisahnya.

Kau menangis dalam gelap, sepi sendiri, fikir kau curahkan membuatku bangun, namun aku tak sejauh itu, bahwa hidup adalah bahagia, merasa yang disukainya, membuang angan yang muluk, kabur dari kebiasaan. Aku memang bukan kamu sementara kami terus mencari, dalam pagi setelah kopi, dalam pagi usai gerimis. Kau pergi dengan sapu sederhana.

Sementara makanan dingin yang ku hangatkan usai belanja sisanya sedikit untuk dikompos, energi dalam botol yang kau ternakkan lewat selang di tepi ruang juga kau tinggalkan mengejar cita. Namun aku menyukainya.

Masa lalu memang bulat dan begitu cepat ditinggalkan ketika kita tak punya rasa dan kini angin, gemuruh serta semuanya menemuiku.

Selamat jalan kemesraan, jadi buku kenangan dan kita makin saudara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar