Senin, 21 Juli 2025

Katalisator

 Asmaraman Sukowati KHO PING HOO. Sayang sekali generasi milenial dan Gen-Z tak mengenal penulis cerita jenius ini


Di cakrawala sastra Indonesia, bersemayam sebuah nama yang terukir dalam kalbu jutaan jiwa: Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Ia adalah sebuah paradoks yang memukau; seorang maestro yang karyanya melegenda di kios-kios sewa buku, namun pada saat yang sama, hikayatnya menggema di benak para presiden, menteri, dan kaum cendekia. Lebih dari sekadar penulis, ia adalah sebuah fenomena budaya, seorang juru dongeng yang menorehkan warisan abadi dengan tinta cinta, kearifan, dan petualangan.


Sang Pujangga yang Ditempa 

Badai Kehidupan


Kisah kehebatan Kho Ping Hoo bermula dari sanubarinya yang merupakan perkawinan dua dunia. Lahir di Sragen pada 17 Agustus 1926, dalam dirinya mengalir darah Tionghoa Peranakan dari sang ayah dan kelembutan Jawa dari sang ibu. Dari ayahnya, ia mewarisi "perangkat keras" cerita: dunia persilatan dan mistisisme. Dari ibundanya, ia menyerap "perangkat lunak": kemampuan merangkai alur yang memikat dan menanamkan pesan moral yang menyentuh.


Pendidikan formalnya boleh terhenti di tingkat dasar, namun ia adalah seorang otodidak sejati yang menjadikan kehidupan sebagai universitasnya. Ketiadaan ijazah formal justru menjadi berkah tersembunyi, membebaskan jiwa liarnya dari keharusan meniru kanon sastra yang kaku. Ia adalah bukti bahwa kehebatan sastra dapat lahir dari rasa ingin tahu yang tak pernah padam dan bakat mentah yang diasah oleh pengalaman.


Jalan hidupnya tak luput dari duri. Ia dua kali menjadi korban kerusuhan rasial yang membakar habis harta bendanya Namun, dari abu kepedihan itu, ia bangkit dengan ketangguhan luar biasa. Ia menyublimasikan luka menjadi karya, dan memilih nama pena "Asmaraman" - "berpikiran cinta"- sebagai jawaban filosofisnya terhadap kebencian yang ia alami. Dengan mendirikan CV Gema, ia membangun sebuah benteng kemandirian, memungkinkannya mengubah trauma pribadi menjadi sebuah proyek budaya berskala nasional.


Semesta Aksara dari Ujung 

Mesin Tik


Kho Ping Hoo adalah seorang arsitek dunia fiksi yang ulung. Dengan berbekal peta dan buku-buku tua, ia membangun sebuah "Tiongkok dalam Pikiran" — sebuah panggung mitos yang terasa begitu nyata, tempat drama kemanusiaan universal dipertontonkan. Di sisi lain, melalui karya berlatar Jawa seperti Darah Mengalir di Borobudur, Sejengkal Tanah Sepercik Darah tentang Majapahit, Rondo Kuning Membalas Dendam tentang Mataram, dan lain-lainnya, ia seolah ingin membisikkan bahwa jiwa kepahlawanan *wuxia* juga bersemayam lekat dalam sejarah Nusantara.


Daya pikat karyanya berpusat pada galeri pendekar yang abadi dalam benak pembaca. Dari Bu Kek Siansu yang bijaksana laksana dewa, Kwee Seng yang terluka namun berhati emas, Kam Bu Song Suling Emas yang sakti tampan dan merana cintanya, hingga Liu Lu Sian yang jelita namun tragis, serta Suma Han Pendekar Super Sakti dan keturunan Para Pendekar Pulau Es yang merupakan pahlawan - pahlawan dan pendekar hebat. Juga Cia Sin Liong sang pendekar Lembah Naga dan kelompoknya seperti Cheng Thian Shin Si Pendekar Sadis yang menakutkan bagi para penjahat. Mereka bukanlah karakter hitam-putih; para pahlawan memiliki kelemahan, dan para penjahat memiliki luka yang membuat mereka manusiawi. Setiap pertarungan pedang bukanlah sekadar baku hantam, melainkan sebuah koreografi yang memukau, manifestasi fisik dari benturan ideologi di mana kebijaksanaan dan ketenangan batin menjadi kunci kemenangan sejati.


Filsafat Cinta dalam Aliran Cerita


Di balik jurus sakti dan asmara yang mendebarkan, bersemayam kontribusi Kho Ping Hoo yang paling agung: perannya sebagai "filsuf bagi massa". Tulang punggung moral di semesta ceritanya adalah hukum sebab-akibat atau Karma. Setiap tindakan, baik maupun jahat, akan menuai buah yang setimpal. Dalam dunia yang sering terasa tak adil, ia menyajikan sebuah peneguhan bahwa keadilan pada akhirnya tak akan dapat dielakkan.


Karyanya adalah permadani indah yang ditenun dari berbagai benang filosofis: keseimbangan Yin dan Yang, welas asih, serta pencarian spiritual dari kebatinan Jawa. Ia tak menggurui, melainkan menerjemahkan konsep-konsep luhur itu ke dalam pilihan dan takdir para karakternya. Dengan cerdas, ia juga menjadikan ceritanya sebagai alegori sosial, sebuah cara untuk "mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapa pun", menyuarakan keadilan dan mempromosikan harmoni antar-etnis sebagai solusi utama persoalan bangsa.



Warisan Cinta yang Tak Lekang 

oleh Waktu


Warisan terindah Kho Ping Hoo adalah perannya sebagai jembatan budaya dan katalisator literasi. Bagi jutaan rakyat Indonesia, ia adalah jendela pertama untuk mengenal budaya Tionghoa secara manusiawi dan mendalam. Ia adalah arsitek dari sebuah revolusi membaca senyap, yang membuat generasi demi generasi "kecanduan" membaca melalui buku-buku sakunya yang terjangkau.


Kini, sebuah ironi menyelimuti legasinya yang gemilang. Terdapat jurang generasi yang dalam antara para penggemar fanatiknya dengan kaum muda era digital, gen milenial dan gen-z, sayang sekali tak mengenal penulis cerita jenius ini. Harta karun berupa pendidikan karakter dan kearifan lokal ini terancam hilang dari memori kolektif bangsa.


Pada akhirnya, Asmaraman S. Kho Ping Hoo lebih dari sekadar penulis. Ia adalah seorang filsuf dalam jubah penghibur, seorang diplomat budaya yang menyatukan perbedaan dengan benang-benang cerita. Karya-karyanya abadi karena nilai yang ia perjuangkan—keadilan, welas asih, dan kekuatan cinta untuk mengatasi perpecahan—adalah nilai-nilai universal yang dirindukan setiap sanubari.


Salah satu filosofi Kho Ping Hoo adalah: SUKA DUKA YANG DIRASAKAN DIALAMI MANUSIA adalah sejatinya merupakan PERMAINAN PIKIRAN DARI DIRI SENDIRI MANUSIA ITU SENDIRI.


Colorization foto Kho Ping Hoo oleh Heri Darmanto.

Foto Asli Hitam Putih berasal dari WIKIPEDIA.


Di tulis oleh Heri Darmanto (pemerhati dan fans dari 

Kho Ping Hoo)

Selasa, 15 Juli 2025

Nasehat Terbaik Adalah Kematian

 Air mata relawan, dalam Ambulance...

saat mengantarkan jenazah korban kapal tenggelam KMP Tunu Pratama Jaya, yg di temukan pagi ini, dari Jembrana Bali menuju Banyuwangi.



Beliau Firman Adiyatman relawan Wahdah Islamiyah Bali. 


Sedih karena membayangkan gimana perasaan keluarga korban, baik anak dan atau istri atau orang tua yg menunggu di rumah... sementara orang tua atau suaminya atau keluarganya pulang dalam keadaan meninggal dunia...


Nasehat terbaik adalah kematian kata relawan ini...


#RelawanWahdahBali

#SAR

#BasarnasBali

#WahdahBali

Selasa, 01 Juli 2025

Perang Yom Kippur

Perang 6 Oktober tahun 1973 atau Perang Ramadhan (Karena terjadi di bulan Ramadhan), dikenal juga dengan Perang Yom Kippur di Israel karena terjadi saat hari raya Yahudi adalah perang Arab-Israel yang ke empat setelah perang tahun 1948, perang Suez tahun 1956 dan perang 6 hari tahun 1967, dan juga satu-satunya perang yang dimenangkan oleh negara Arab versus Israel dimana pasukan Mesir berhasil melewati Bar Lev line yang terkenal sulit ditembus. 


***



Abu Al-'Arifin begitulah ia dikenal, sebagian orang menyebutnya dengan Imam Ghazali Mesir era modern, dialah Al-'Arif billah Al-Imam Al-Akbar Syeikhul Azhar Syeikh Abdul Halim Mahmud rahimahullah. Sisa ulama salaf yang pernah hidup di akhir zaman. 


Sebelum perang oktober, beliau bermimpi melihat Rasulullah Saw bersama para ulama melewati terusan Suez sebagai isyarat kemenangan. Berita gembira ini kemudian beliau sampaikan kepada Presiden Anwar Sadat agar mengambil keputusan untuk menyerang Israel. Karena beliau yakin Mesir akan menang dan begitulah kenyataannya. 



Tak hanya itu, beliau juga memfatwakan kepada para pasukan Mesir bolehnya berbuka puasa bahkan sunnah mengingat panasnya cuaca di bulan oktober meskipun ditolak oleh sebagian pasukan Mesir sambil berkata: "Kami ingin berbuka di Surga".


Kemudian beliau menaiki mimbar Al-azhar Sharif dan menyampaikan khutbah yang ditujukan kepada pemerintah, para jenderal dan semua pasukan bahwa "Perang kita dengan Israel adalah jihad fi sabilillah, barang siapa yang meninggal maka dia syahid dan berhak untuk mendapatkan surga. Sebaliknya, siapapun yang berpaling lalu dia mati maka ia mati dalam satu cabang kemunafikan".





Al-Imam Al-Akbar Sheikh Abdul Halim Mahmud adalah salah satu contoh terbaik yang pernah ada untuk menggambarkan bagaimana seharusnya seorang Shufi. Sebagaiman para shufi umumnya, ia menyeru kepada cinta, sebenar-benarnya cinta. Al-Imam hadir dan menyeru kepada cinta dan kasih sayang ketika terjadi perang saudara di Lebanon, beliau hadir dengan cinta saat Al-Jazair dan Maroko berkonflik. Namun Cinta yang ia seru sama sekali tak menghalanginya untuk menggelorakan semangat jihad melawan pendudukan Israel di Sinai dan Palestina.


Ia memang dekat dengan Anwar Saadat, tapi itu tak menghalanginya untuk bersikap keras kepada Sang Presiden saat berusaha membatasi kewenangannya sebagai Syeikhul Azhar, iapun mundur dari Masyakhatul Azhar hingga kemudian memaksa Saadat untuk mengurungkan keputusannya dan mengembalikan semua kewenangan Syeikhul Azhar. 



Lulus dari Univ Sorbonne Perancis dan pernah menjadi murid seorang orientalis besar Perancis Luis Massignon tak menjadikannya seorang liberal dan membebek ke Barat.  Ia justeru menuntut Pemerintah untuk mengaplikasikan syariat islam secara kaffah di Mesir. Bahkan beliau membentuk panitia dari ulama-ulama Al-Azhar dan menyusun draft undang-undang yang sesuai dengan syariat islam. Yang sayangnya, tidak pernah ditanggapi oleh pemerintah hingga ajal menjemputnya. 


Ia menyeru dengan cinta, kehidupannya sebagai seorang shufi tak lantas membuatnya dimusuhi oleh tokoh-tokoh dakwah Salafi dan Ikhwan. Ia menghormati Ibnu Taimiyah. Simaklah dalam kitabnya tentang komunisme (Fatawa An Syuyu'iyah) bagaimana beluau menggambarkan para raja dan pangeran Saudi dan mengutip perkataan mereka. Dan seperti biasa, cinta itu terbalas dengan cinta. Bukalah surat-surat kritik Syeikh Bin Baz terhadap beliau, kita akan menemukan betapa Syeikh Bin Baz sangat menghormati Al-Imam Al-Akbar. Dan karena cinta pula, Umar At-Tilmisani Mursyid Ikhwanul Muslimin sering menemui Al-Imam Al-Akbar untuk meminta nasehatnya. Hingga Ikhwan menganggap Al-Imam sebagai salah seorang ulamanya. Dan memang benar,  Al-Imam Al-Akbar adalah Imam untuk semua umat islam. 



Beliau sama sekali tidak takut dengan Pemerintah, beliau pernah bersitegang dengan Pengadilan Militer terkait dengan penyikapan yang beliau anggap tidak tepat terhadap Jama'ah Takfir Wal hijrah. Sebagaimana beliau pernah menentang keras wacana Paus Shenouda III untuk mencetak buku agama yang mengajarkan pelajaran keislaman dan kristen dalam satu buku lalu diajarkan untuk siswa-siswi di sekolah mereka.

Nasionalisme dan cinta tanah air tak perlu mengorbankan aqidah. Sebagaimana cinta dan kasih sayang tak harus menggerus makna jihad. 


Rahimahullah rahmatan wasi'ah.

Ada Letter E di Rinjani

 INI jawaban kenapa disebut Letter E Rinjani, jalur yang terkenal ekstrim di Gunung Rinjani.


Letter E di Gunung Rinjani merujuk pada salah satu spot atau titik di jalur pendakian Gunung Rinjani yang terkenal dengan pemandangan sunrise yang spektakuler. Spot ini dinamakan "Letter E" karena bentuk jalur atau spot tersebut menyerupai huruf "E".



Letter E menjadi salah satu destinasi favorit bagi pendaki yang ingin menyaksikan sunrise di Gunung Rinjani. Untuk mencapai spot ini, pendaki perlu melakukan pendakian yang cukup menantang dan siap untuk menghadapi berbagai kondisi medan.