Seekor harimau mati ditembak di sebuah perkampungan di antara Bandung dan Garut, 1920.
Sejak perkebunan menjamuri tanah Priangan awal abad 19, hutan² dibuka, manusia² datang, permukiman² lahir. Harimau jadi salah satu korban paling menderita karena dianggap hama dan bahaya.
Malangnya pertembungan harimau - manusia begini kerap terjadi. Si maung selalu kalah.
Di area Bandung saja, harimau antaranya dibantai di Rahayu, Batujajar (Mei 1920), Cimangsud (Jul 1920), Arcamanik dan Cikalong (Nov 1923), Cihawuk (Apr 1924), dan Nangkelan, Ciparay (Nov 1925).
Jumlahnya jadi mengerikan kalau seantero Priangan dihitung semua. Menurut lansiran Nieuws van den Dag, 15 Juni 1922:
• Pada 1920, ada 38 ekor harimau mati dibunuh, baik oleh pemburu maupun penduduk.
• Setahun kemudian angkanya berlipat jadi 70 ekor.
Masih menurut berita tsb, ada insentif 50 gulden per ekor harimau yang dibantai. Harga beras Burma murah saat itu 17 gulden/kuintal.
Bahkan Arnasim, pria Sunda pembunuh harimau yang menyerang kambingnya di Nangkelan Nov 1925, malah dapat penghargaan dari asosiasi pecinta hewan.
Tak heran jika selang sedekade harimau sudah jarang ditemui. Sepanjang 1930-an hanya ada seekor harimau mati di Sukarame, Ciparay.
Kini seabad kemudian, namanya saja tersisa lewat toponimi macam Cimacan, Cimaung, Pasir Maung, Situ Maung, Pasir Macan, dsb.
"Terjawab sudah, makanya saya bingung Jabar (Jawa Barat) sering di bilang MAUNG BANDUNG, tapi di mana harimau nya. Rupanya sudah habis duluan di bantai"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar