Oleh : Angwar Sanusi
Di Situbondo
Proyek food estate di Kalimantan Tengah sebetulnya adalah gambaran masa depan bagaimana negara ini mampu mandiri di bidang pangan. Namun di tangan Prabowo Subianto, angan-angan itu berubah menjadi satu ironis: masyarakat setempat justru kehilangan pangan dan mata pencaharian. Belum lagi pukulan penderitaan lain yang datang dari alam: saat hujan turun banjir lumpur menimpa rumah-rumah penduduk di Tewai Baru.
Mengisi akhir pekan dengan menyaksikan investigasi Tempo soal food estate, sungguh bikin perasaan tak enak. Vidio itu tiba-tiba saja mampir di beranda youtubeku dan menyita perhatian. Dari tayangan itulah, ditambah beberapa informasi yang pernah aku dapatkan dari sumber lain, tulisan singkat ini aku buat. Bukan untuk mengomel, melainkan hanya sekedar berbagi pandangan.
Sebelum Prabowo datang membabat hutan untuk ditanam singkong, warga setempat hidup dalam ketenangan. Mereka punya hubungan yang sangat erat dengan hutan. Baik untuk berburu, hingga menanam palawija. Hampir sebagian besar penghidupan mereka memang mengandalkan aktivitas hutan adat semacam itu. Namun sekarang, semua itu telah hilang. Satu persatu warga mulai meninggalkan kampung halaman.
Yang sangat memukul, warga tidak tahu bahwa hutan yang selama ini menopang hidup mereka akan dibongkar untuk lahan singkong. Tiba-tiba saja sudah datang alat berat. Pembukaan lahan juga dilakukan tertutup, dan dijaga ketat petugas berseragam tentara. Warga tak diijinkan menginjak lokasi bahkan sekedar untuk melihat-lihat, apalagi protes ataupun mengiba.
Sekarang kabar kegagalan proyek itu yang justru menghantam kita. Bahkan yang lebih miris, Kementerian Pertahanan yang dikomandoi Prabowo justru menyebut, mangkraknya kebun singkong disebabkan ketiadaan anggaran. Semua tahu, sudah lebih dari satu triliun anggaran yang dihabiskan untuk proyek tersebut, dan hasilnya menguap. Dengan tidak mengurasi rasa hormat, kita bisa bergumam kagum: itulah mental korup pejabat.
Tidak mungkin kita bicara kementerian pertahanan yang mengelola proyek itu tanpa melibatkan peran sentral seorang Prabowo. Terlepas apakah dia seorang calon presiden, atau ketua umum Gerindra. Dari sini, masyarakat bahkan bisa menilai proyek tersebut hanya main-main, tak tak pernah digarap dengan serius.
Aku sendiri melihatnya sederhana. Proyek food estate yang diamanahkan ke Prabowo justru dijadikan sarana untuk memperkuat posisi dirinya. Itu terlihat bagaimana PT Agrinas masuk. Orang-orang kepercayaan Prabowo di Gerindra menjabat pimpinan disana. Sementara komisaris, diisi para purnawirawan TNI, yang juga anggota tim kampanye Prabowo 2019.
Artinya proyek yang sejatinya bertujuan untuk kemakmuran, justru dijadikan operasi senyap Prabowo. Ia menghimpun kekuatan besar dari sini. Bukan hanya logistik, namun juga mengokohkan kembali jaringan-jaringan lamanya. Tujuannya cuma satu untuk mencengkram kekuasaan pada Pilpres 2024.
Pada akhirnya wajar jika proyek itu berujung gagal. Keberhasilan memang bukan tujuan, apalagi kemakmuran rakyat, nanti dulu. Masyarakat yang terdampak nyatanya juga dibiarkan begitu saja, tak dilihat sama sekali. Sebab yang utama adalah bagaimana Prabowo bisa membuat kekuatan besar sebagai modal untuk pencapresannya. Ya, itulah operasi singkong yang dijalankan seorang Prabowo.
Salam berbagai,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar