Pagi ini belasan tahun yang lalu kenangku
Dimana rumputan tanpa embun digilas debu
Dalam udara yang lebih tipis dari Kotaku
Namun semangat ini mengajak lagi untuk melawan kejenuhan
Biasanya pusing berlabuh dan uap mulut membuka hirup
Satu matahari yang juga sama dengan mentari di tanah lahirku yang juga gurun
Debu debu bersama kepulauan Sangiang membawa angan laki-laki itu ke ibu kota
Kini anaknya di gurun terluas
Ayahnya pada polusi menyengat
Ibunya dengan angan setinggi kepulauan Sangiang
Dan kini dari Ngoro ngoro
Di ujung debu yang terhampar, hidungku berair
Sementara ibuku dengan doa matanya berair, ayahku dengan angannya berlari, wildebeest dengan rasanya berlari
Dari tulisan murni ini ku kenang lagi,
Ngoro ngoro beri ruang untuk aku, ibu, ayah dan kerbau gurun yang lebih besar dari kerbau guru di kampungku, kerbau pilu di pabrikku yang katanya kota nan megah.
Lalu kau anggap apa tanah kosong di kampungku, tanah lapang di Ngoro ngoro.
Hanya ini liur tintaku, dari sini ku kenang lagi
Mengenang Afrika dua ribu satu
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman