Berawal dari karya Bapak dan Ibu yang semoga diberkahi oleh Alloh SWT maka lahirlah waktu. Ya.. waktu itu aku lahir, dalam persaksian letupan Sangiang yang selalu menjadi lukisan pagi yang agung. Sangiang adalah nama sebuah gunung di utara desa tempat dimana saya menjerit pertama ketika subuh. Ibu berkisah bahwa ketika itu aku diberi nama Muhammad Firdaus, namun kerap sakit. Maka digantilah namanya seperti yang sekarang ini.
Kakeku tinggi jangkung, perawakannya tinggi seperti Polisi Militer, Bapak sering mengisahkannya jikalau Almarhum kakek memberikan komando, suaranya seperti granat yang meledah sehingga Ayak melangkah cepat. Sewaktu kecil sering aku dibawa kakaek ke bukit, diselimutinya aku dengan ubi ubi hasil panenan, semua mengelilingi, menyelimuti bagai pangan sederhana yang membuatku gembira.
Usia sembilan bulan Ibu membawa aku ke Jakarta, setelah ayah mendahuluinya Hijrah kesana. Usia sembilan bulan aku mengarungi tiga selat, beberapa kali gonta ganti bus dan kereta dari Staciun Pasar Turi kemudian Sampailah di Staciun Pasar Senin. Ibuku petualang, dengan cerdas dan ketabahan dia buktikan semuanya, kehati hatian membawa Aku sampai di sebuah jalan yang orang setempat menyebutnya Gang Mulya atau Kober.
Kontrak dari satu rumah ke rumah yang lain saya bertanya, apakah masih ada genting yang tersisa sebagai saksi bahwa kami berpindah pindah. Sekarang ini semua genting diganti asbes atau seng berlaga genting tanah.
Tahun 1986 Ayah memberanikan diri membeli tanah, rumah reot yang tak satupun bahan bangunannya digunakan. Maka berdirilah secara bertahap hingga jadi seperti sekarang. Ayah tekun mencari nafkah, kerja di dua tempat, memberikan jasa atas keahliannya yang diberikan oleh Alloh kepada Ayah, menyembuhkan orang yang patah tulang, hingga seingatku ketika kecil, orang orang sering meledek aku sebagai anak dukun urut.
Semoga cacian itu menjadi berkah sehingga dihilangkan segala bentuk kedengkian dalam diri. Ayah menjual madu sebagai sambilan mata pencaharian utamanya sebagai Guru. Ya.. Ayah dan Ibuku Guru, kini kedua adikku menjadi guru sedang Aku mm..,
Kakek mewarisiku berhijrah dari bukit ke bukit, Ayah mewariskanku Keberanian hidup, Ibu mewariskanku rendah hati dan terus tawakal. Kami hidup sederhana dengan kisah sederhana, tak ada yang luar biasa, susah senang bukanlah luar biasa, karena setiap orang mengalaminya. Semua memiliki jalan, dari kisah sederhana muda mudi yang jadian di tahun seribu sembilan ratus tujuh delapan.
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman
Kakeku tinggi jangkung, perawakannya tinggi seperti Polisi Militer, Bapak sering mengisahkannya jikalau Almarhum kakek memberikan komando, suaranya seperti granat yang meledah sehingga Ayak melangkah cepat. Sewaktu kecil sering aku dibawa kakaek ke bukit, diselimutinya aku dengan ubi ubi hasil panenan, semua mengelilingi, menyelimuti bagai pangan sederhana yang membuatku gembira.
Usia sembilan bulan Ibu membawa aku ke Jakarta, setelah ayah mendahuluinya Hijrah kesana. Usia sembilan bulan aku mengarungi tiga selat, beberapa kali gonta ganti bus dan kereta dari Staciun Pasar Turi kemudian Sampailah di Staciun Pasar Senin. Ibuku petualang, dengan cerdas dan ketabahan dia buktikan semuanya, kehati hatian membawa Aku sampai di sebuah jalan yang orang setempat menyebutnya Gang Mulya atau Kober.
Kontrak dari satu rumah ke rumah yang lain saya bertanya, apakah masih ada genting yang tersisa sebagai saksi bahwa kami berpindah pindah. Sekarang ini semua genting diganti asbes atau seng berlaga genting tanah.
Tahun 1986 Ayah memberanikan diri membeli tanah, rumah reot yang tak satupun bahan bangunannya digunakan. Maka berdirilah secara bertahap hingga jadi seperti sekarang. Ayah tekun mencari nafkah, kerja di dua tempat, memberikan jasa atas keahliannya yang diberikan oleh Alloh kepada Ayah, menyembuhkan orang yang patah tulang, hingga seingatku ketika kecil, orang orang sering meledek aku sebagai anak dukun urut.
Semoga cacian itu menjadi berkah sehingga dihilangkan segala bentuk kedengkian dalam diri. Ayah menjual madu sebagai sambilan mata pencaharian utamanya sebagai Guru. Ya.. Ayah dan Ibuku Guru, kini kedua adikku menjadi guru sedang Aku mm..,
Kakek mewarisiku berhijrah dari bukit ke bukit, Ayah mewariskanku Keberanian hidup, Ibu mewariskanku rendah hati dan terus tawakal. Kami hidup sederhana dengan kisah sederhana, tak ada yang luar biasa, susah senang bukanlah luar biasa, karena setiap orang mengalaminya. Semua memiliki jalan, dari kisah sederhana muda mudi yang jadian di tahun seribu sembilan ratus tujuh delapan.
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar