Berjalan menyusuri pantai di Bali dari Amed ke Bali Utara di Les, dari Kuta, Nusa Dua, Benoa sampai ke Serangan sambil melihat kehidupan nelayan lebih dekat. Terlihat komunal jukung diantara derasnya arus wisata yang semakin tak terbendungkan, terlebih mendengar isu Reklamasi Teluk Benoa yang semakin menguat antara Pro dan Kontra.Mari melihat lebih jernih tentang kehidupan dari hilir ke hulu.
Semenjak wisata berkembang, sawah sawah di Ubud lapaknya semakin sempit, dibayangi kehidupan petani yang kian mengkawatirkan, harga pupuk yang tinggi, pupuk pupuk yang tak ramah lingkungan, permasalahan subak yang kian mengkhawatirkan dan beberapa persoalan lainnya tentak kepelikan petani.
Sebanyak 600 mata air yang ada di Bali kini sekitar 200 sumber mata air yang ada. Hal ini disebabkan gundulnya lahan hijau dan swastanisasi air dan ada beberapa yang lainnya. Terlebih larangan membuang kotoran di sungai yang semakin hari semakin dilanggar dan tercemar. Walhasil beberapa tahun terakhir ini SMK Pertanian ditutup sementara SMK Pariwisata semakin banyak.
Dikehidupan masyarakat pesisir terlihat penginapan mewah dan sederhana menghiasi pemandangan, di sekitar pantai kedonganan banyak orang menjajakan ikan, yang menjadi pertanyaan apakah kualitas ikan semakin baik, pendapatan nelayan apakah bertambah dan lain sebagainya, hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi nelayan, pemerintah dan semua pihak yang masih memikirkan kehidupan pesisir.
Kita ambil saja sedikit kasus di Teluk Benoa, dimana terdapan banyak sandaran masyarakat pesisir karena menyimpan banyak lahan bakau yang begitu luas, sebagai tempat pemijahan ikan ikan kecil, padang lamunnya juga menjadi potensi bentos yang masih baik, namun ketika terjadi pengerukan, harta yang kita miliki berupa lamun dan bakau hilang, ini berarti menutup infestasi jangka panjang kehidupan nelayan.
Maka semakin jelaslah bahwa masyarakat nelayan terpinggirkan, padahal ketika kita mau jujur, permintaan ikan laut Bali sangat tinggi mengingat wisatawan yang bisa dikatakan tak pernah sepi. Semoga kita semakin arif dan bijak sana dalam memilih kehidupan Bali yang lebih baik.
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman
Semenjak wisata berkembang, sawah sawah di Ubud lapaknya semakin sempit, dibayangi kehidupan petani yang kian mengkawatirkan, harga pupuk yang tinggi, pupuk pupuk yang tak ramah lingkungan, permasalahan subak yang kian mengkhawatirkan dan beberapa persoalan lainnya tentak kepelikan petani.
Sebanyak 600 mata air yang ada di Bali kini sekitar 200 sumber mata air yang ada. Hal ini disebabkan gundulnya lahan hijau dan swastanisasi air dan ada beberapa yang lainnya. Terlebih larangan membuang kotoran di sungai yang semakin hari semakin dilanggar dan tercemar. Walhasil beberapa tahun terakhir ini SMK Pertanian ditutup sementara SMK Pariwisata semakin banyak.
Dikehidupan masyarakat pesisir terlihat penginapan mewah dan sederhana menghiasi pemandangan, di sekitar pantai kedonganan banyak orang menjajakan ikan, yang menjadi pertanyaan apakah kualitas ikan semakin baik, pendapatan nelayan apakah bertambah dan lain sebagainya, hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi nelayan, pemerintah dan semua pihak yang masih memikirkan kehidupan pesisir.
Potret komunal nelayan di Bali utara (Foto.Fadlik)
Kita ambil saja sedikit kasus di Teluk Benoa, dimana terdapan banyak sandaran masyarakat pesisir karena menyimpan banyak lahan bakau yang begitu luas, sebagai tempat pemijahan ikan ikan kecil, padang lamunnya juga menjadi potensi bentos yang masih baik, namun ketika terjadi pengerukan, harta yang kita miliki berupa lamun dan bakau hilang, ini berarti menutup infestasi jangka panjang kehidupan nelayan.
Maka semakin jelaslah bahwa masyarakat nelayan terpinggirkan, padahal ketika kita mau jujur, permintaan ikan laut Bali sangat tinggi mengingat wisatawan yang bisa dikatakan tak pernah sepi. Semoga kita semakin arif dan bijak sana dalam memilih kehidupan Bali yang lebih baik.
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar