Galau dimana mana, bahasa lamanya Gelisah, bingung, ya.. gitu deh. Kita runut cerita, kenapa banyak orang galau. Dari kecil banyak orang disini nggak dibiasakan ambil keputusan sendiri, semuanya yang mutusin orang tua, debat terbuka yang membangun yang kearah lebih baik juga seperti dipasung, dengan dalih durhaka sama orang tua. Dari kebiasaan itu jadi cari titik aman yakni nggak berani mengambil keputusan. Banyak orang pinter tapi nggak berani ngambil keputusan, walhasil.. "Galau"
Dari kecil banyak yang main sama sebaya nya. Hal itu bagus, anak nggak diajak individualistis. Banyak kelebihan bermain bersama, merasakan apa itu "rasa" kadang anak kecil sering berantem, nggak kenapa itu alamiah aja. Namun sekarang anak anak dibiasakan menghadapi layar datar yang semu. Kita hitung hitungan kualitas aja ya.., banyak anak nggak ceria bersekolah, lebih banyak dia habiskan waktunya untuk main yang namanya "PS" gilole.. dari kecil sensitifitasnya nggak terlatih, ada apa apa di sekelilingnya dia malah cuek bebek. Kalau ada sesuatu yang prioritas bilangnya "sebentar.., lagi tanggung nih"(Siapa yang salah ?!)
Dari kecil nggak dilatih memecahkan masalahnya sendiri, agak besar dikit didiamkan main yang begituan, saya juga nggak nyalahin, tapi banyak banget yang saya lihat uda pada "Lebay" kalau main PS sampe jam 2 malem dijabanin, sampe lupa "CD"nya uda dua hari belum dicuci. Tuh kan, yang jadi prioritas jadi terkalahkan sama kecintaannya sama yang semu. Makan juga jadi jarang jarang, kasian wal'afiat deh pokoknya. Hidup cuma di depan monitor, menjadi lupa bahwa persoalan di luar banyak yang harus dipecahkan. Kalau ditegur "Marah" mengatasnamakan "Galau" jadi tandingan. Banyak juga orang yang maunya leyeh leyeh, jadi kalau ditanya bisa bantu ini dan itu nggak, jawabannya "enggak, sibuk kuliah, banyak tugas dan lain lain. Padahal leyeh leyeh di rumah atau pacaran sampe putus, walhasil "Galau", ada ungkapan begini "Negara ini nggak akan berkurang pemimpinnya kalau pemudanya menjelajah alam dan pasti berkurang kalau terjebak "Galau" dan Narkoba. Mari membuka diri, menuju hari esok yang lebih baik.
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman
Dari kecil banyak yang main sama sebaya nya. Hal itu bagus, anak nggak diajak individualistis. Banyak kelebihan bermain bersama, merasakan apa itu "rasa" kadang anak kecil sering berantem, nggak kenapa itu alamiah aja. Namun sekarang anak anak dibiasakan menghadapi layar datar yang semu. Kita hitung hitungan kualitas aja ya.., banyak anak nggak ceria bersekolah, lebih banyak dia habiskan waktunya untuk main yang namanya "PS" gilole.. dari kecil sensitifitasnya nggak terlatih, ada apa apa di sekelilingnya dia malah cuek bebek. Kalau ada sesuatu yang prioritas bilangnya "sebentar.., lagi tanggung nih"(Siapa yang salah ?!)
Dari kecil nggak dilatih memecahkan masalahnya sendiri, agak besar dikit didiamkan main yang begituan, saya juga nggak nyalahin, tapi banyak banget yang saya lihat uda pada "Lebay" kalau main PS sampe jam 2 malem dijabanin, sampe lupa "CD"nya uda dua hari belum dicuci. Tuh kan, yang jadi prioritas jadi terkalahkan sama kecintaannya sama yang semu. Makan juga jadi jarang jarang, kasian wal'afiat deh pokoknya. Hidup cuma di depan monitor, menjadi lupa bahwa persoalan di luar banyak yang harus dipecahkan. Kalau ditegur "Marah" mengatasnamakan "Galau" jadi tandingan. Banyak juga orang yang maunya leyeh leyeh, jadi kalau ditanya bisa bantu ini dan itu nggak, jawabannya "enggak, sibuk kuliah, banyak tugas dan lain lain. Padahal leyeh leyeh di rumah atau pacaran sampe putus, walhasil "Galau", ada ungkapan begini "Negara ini nggak akan berkurang pemimpinnya kalau pemudanya menjelajah alam dan pasti berkurang kalau terjebak "Galau" dan Narkoba. Mari membuka diri, menuju hari esok yang lebih baik.
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar