Asmaraman Sukowati KHO PING HOO. Sayang sekali generasi milenial dan Gen-Z tak mengenal penulis cerita jenius ini
Di cakrawala sastra Indonesia, bersemayam sebuah nama yang terukir dalam kalbu jutaan jiwa: Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Ia adalah sebuah paradoks yang memukau; seorang maestro yang karyanya melegenda di kios-kios sewa buku, namun pada saat yang sama, hikayatnya menggema di benak para presiden, menteri, dan kaum cendekia. Lebih dari sekadar penulis, ia adalah sebuah fenomena budaya, seorang juru dongeng yang menorehkan warisan abadi dengan tinta cinta, kearifan, dan petualangan.
Sang Pujangga yang Ditempa
Badai Kehidupan
Kisah kehebatan Kho Ping Hoo bermula dari sanubarinya yang merupakan perkawinan dua dunia. Lahir di Sragen pada 17 Agustus 1926, dalam dirinya mengalir darah Tionghoa Peranakan dari sang ayah dan kelembutan Jawa dari sang ibu. Dari ayahnya, ia mewarisi "perangkat keras" cerita: dunia persilatan dan mistisisme. Dari ibundanya, ia menyerap "perangkat lunak": kemampuan merangkai alur yang memikat dan menanamkan pesan moral yang menyentuh.
Pendidikan formalnya boleh terhenti di tingkat dasar, namun ia adalah seorang otodidak sejati yang menjadikan kehidupan sebagai universitasnya. Ketiadaan ijazah formal justru menjadi berkah tersembunyi, membebaskan jiwa liarnya dari keharusan meniru kanon sastra yang kaku. Ia adalah bukti bahwa kehebatan sastra dapat lahir dari rasa ingin tahu yang tak pernah padam dan bakat mentah yang diasah oleh pengalaman.
Jalan hidupnya tak luput dari duri. Ia dua kali menjadi korban kerusuhan rasial yang membakar habis harta bendanya Namun, dari abu kepedihan itu, ia bangkit dengan ketangguhan luar biasa. Ia menyublimasikan luka menjadi karya, dan memilih nama pena "Asmaraman" - "berpikiran cinta"- sebagai jawaban filosofisnya terhadap kebencian yang ia alami. Dengan mendirikan CV Gema, ia membangun sebuah benteng kemandirian, memungkinkannya mengubah trauma pribadi menjadi sebuah proyek budaya berskala nasional.
Semesta Aksara dari Ujung
Mesin Tik
Kho Ping Hoo adalah seorang arsitek dunia fiksi yang ulung. Dengan berbekal peta dan buku-buku tua, ia membangun sebuah "Tiongkok dalam Pikiran" — sebuah panggung mitos yang terasa begitu nyata, tempat drama kemanusiaan universal dipertontonkan. Di sisi lain, melalui karya berlatar Jawa seperti Darah Mengalir di Borobudur, Sejengkal Tanah Sepercik Darah tentang Majapahit, Rondo Kuning Membalas Dendam tentang Mataram, dan lain-lainnya, ia seolah ingin membisikkan bahwa jiwa kepahlawanan *wuxia* juga bersemayam lekat dalam sejarah Nusantara.
Daya pikat karyanya berpusat pada galeri pendekar yang abadi dalam benak pembaca. Dari Bu Kek Siansu yang bijaksana laksana dewa, Kwee Seng yang terluka namun berhati emas, Kam Bu Song Suling Emas yang sakti tampan dan merana cintanya, hingga Liu Lu Sian yang jelita namun tragis, serta Suma Han Pendekar Super Sakti dan keturunan Para Pendekar Pulau Es yang merupakan pahlawan - pahlawan dan pendekar hebat. Juga Cia Sin Liong sang pendekar Lembah Naga dan kelompoknya seperti Cheng Thian Shin Si Pendekar Sadis yang menakutkan bagi para penjahat. Mereka bukanlah karakter hitam-putih; para pahlawan memiliki kelemahan, dan para penjahat memiliki luka yang membuat mereka manusiawi. Setiap pertarungan pedang bukanlah sekadar baku hantam, melainkan sebuah koreografi yang memukau, manifestasi fisik dari benturan ideologi di mana kebijaksanaan dan ketenangan batin menjadi kunci kemenangan sejati.
Filsafat Cinta dalam Aliran Cerita
Di balik jurus sakti dan asmara yang mendebarkan, bersemayam kontribusi Kho Ping Hoo yang paling agung: perannya sebagai "filsuf bagi massa". Tulang punggung moral di semesta ceritanya adalah hukum sebab-akibat atau Karma. Setiap tindakan, baik maupun jahat, akan menuai buah yang setimpal. Dalam dunia yang sering terasa tak adil, ia menyajikan sebuah peneguhan bahwa keadilan pada akhirnya tak akan dapat dielakkan.
Karyanya adalah permadani indah yang ditenun dari berbagai benang filosofis: keseimbangan Yin dan Yang, welas asih, serta pencarian spiritual dari kebatinan Jawa. Ia tak menggurui, melainkan menerjemahkan konsep-konsep luhur itu ke dalam pilihan dan takdir para karakternya. Dengan cerdas, ia juga menjadikan ceritanya sebagai alegori sosial, sebuah cara untuk "mengkritik tanpa harus menyakiti perasaan siapa pun", menyuarakan keadilan dan mempromosikan harmoni antar-etnis sebagai solusi utama persoalan bangsa.
Warisan Cinta yang Tak Lekang
oleh Waktu
Warisan terindah Kho Ping Hoo adalah perannya sebagai jembatan budaya dan katalisator literasi. Bagi jutaan rakyat Indonesia, ia adalah jendela pertama untuk mengenal budaya Tionghoa secara manusiawi dan mendalam. Ia adalah arsitek dari sebuah revolusi membaca senyap, yang membuat generasi demi generasi "kecanduan" membaca melalui buku-buku sakunya yang terjangkau.
Kini, sebuah ironi menyelimuti legasinya yang gemilang. Terdapat jurang generasi yang dalam antara para penggemar fanatiknya dengan kaum muda era digital, gen milenial dan gen-z, sayang sekali tak mengenal penulis cerita jenius ini. Harta karun berupa pendidikan karakter dan kearifan lokal ini terancam hilang dari memori kolektif bangsa.
Pada akhirnya, Asmaraman S. Kho Ping Hoo lebih dari sekadar penulis. Ia adalah seorang filsuf dalam jubah penghibur, seorang diplomat budaya yang menyatukan perbedaan dengan benang-benang cerita. Karya-karyanya abadi karena nilai yang ia perjuangkan—keadilan, welas asih, dan kekuatan cinta untuk mengatasi perpecahan—adalah nilai-nilai universal yang dirindukan setiap sanubari.
Salah satu filosofi Kho Ping Hoo adalah: SUKA DUKA YANG DIRASAKAN DIALAMI MANUSIA adalah sejatinya merupakan PERMAINAN PIKIRAN DARI DIRI SENDIRI MANUSIA ITU SENDIRI.
Colorization foto Kho Ping Hoo oleh Heri Darmanto.
Foto Asli Hitam Putih berasal dari WIKIPEDIA.
Di tulis oleh Heri Darmanto (pemerhati dan fans dari
Kho Ping Hoo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar