SUARA MERDEKA
SABTU, 28 JANUARI 1995
Di Bandung Rendra Berdoa
Ya Allah, ya Tuhanku
Yang Maha Kuasa
Yang Maha Esa
yang menguasai rejeki umat
yang menguasai perjodohan umat manusia
Tunjukkanlah kami ke jalan yang benar
dan bukan jalan yang ditempuh
orang-orang yang zalim
Inilah bait pertama “doa” (bukan sajak) yang dibacakan Si Burung Merak , WS Rendra, setelah menyampaikan pernyataan sikap: menolak membacakan sajak. Kenapa?
Penyair balada yang sangat dinanti penonton ini tiba-tiba urung membacakan sajak. Empat dari dua belas puisi yang diajukan panitia, Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB), tak mendapat izin pihak berwenang. Padahal penyair kelahiran Solo itu sudah nyata hadir, bahkan naik ke mimbar.
Di depan sekitar 3.500 penonton di GOR Saparua Bandung. Selasa malam lalu. Rendra mengawali pernyataannya. “Hadirin sekalian, warga Bandung yang saya hormati, saya merasa bangga mendapat kehormatan diundang membacakan sajak memeriahkan acara ini,” ungkapnya, yang disambut tepuk tangan dan teriakan histeris. Beberapa penonton dan fotografer mendekati mimbar yang hanya berukuran setengah meter lebih tinggi dari lantai.
Panitia pun segera menertibkan, Rendra melanjutkan. “Saya berminat membacakan sajak berjudul ‘Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung’, disusul dengan ‘Tokek dan Adipati Rangkasbitung,’. Ketiga ‘Demi Orang-orang Rangkasbitung’, dan keempat ‘Kesaksian Bapak Saijah’.” Tepuk tangan kembali membahana.
Tapi sayang sekali, saya tak mendapat izin untuk membacakan tiga sajak pertama.”
Rendra menghentikan sejenak ungkapannya. Teriakan, tepuk tangan, dan umpatan ketidakpuasan memenuhi seluruh ruangan. Beberapa kali ia memohon pengunjung tenang. Lalu, “Ini namanya kenyataan kekuasaan politik.”
Beberapa orang di depan meneriakkan “demokrasi”,”mimbar bebas”, dan aneka cemooh.
“Saya bukan orang politik. Saya tak punya kekuatan politik. Saya rakyat tapi punya kekuatan moral.”
Lagi-lagi hadirin mendukung dengan tepuk tangan. “Dan malam ini saya akan mempergunakan kekuasaan moral, dengan menolak membacakan sajak sama sekali”. Vokalnya menaik.
Dan di tengah gemuruh itu Si Burung Merak menambahkan, “Saya tidak mau diremehkan kekuasaan politik.” Ia mengangkat kepalan tangan kanan, dan gemuruh suara makin tak beraturan, bahkan suitan ala supporter sepakbola tak terhindarkan.
Menurutnya, sajak-sajak itu 15 Januari lalu dibacakan di Surabaya dan tak ada halangan apa-apa. Puisi itu tak menyalahi undang-undang dan konstitusi. “Sajak itu saya tulis karena saya menghayati kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila ke lima.
Rendra yang mengenakan celana dan baju jin itu mengajak hadirin berdoa dengan menengadahkan kedua tangan ke atas.
Bait ketiga “doa” itu:
Ya Allah, Ya Tuhanku
Aku mendengar suara jerit makhluk yang terluka
Ada orang memanah rembilan
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya
Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan bisa terjaga
Lindungilah kami, ya Allah
Amin, ya robbal alamin.
Setelah memberi salam, ia langsung lari kecil meninggalkan panggung. Dan sorak-sorai, tepuk tangan, dan cemoohan sampai ke puncaknya.
Redaman Jose
Dalam Susana ribut itulah penyair Jose Rizal Manua, yang sejak semula berdiri mendampingi Rendra, mulai membacakan sajak-sajaknya, tanpa kata pengantar.
Penyair “lucu” itu memulai dengan “Perdamaian”, yang dilantunkan mirip irama Kasidah Nasidaria asal Semarang. Penonton yang semula hendak keluar ruangan terpaksa tertahan. Beberapa yang masih duduk rupanya mulai terpancing oleh kelucuan Jose. Inilah sajak itu:
Perdamaian, perdamaian
Perdamaian, perdamaian
Rumah berdiri dirubuhkan
Rumah rubuh didirikan
Perdamaian, perdamaian
Perdamaian, perdamaian
Anak sakit diobati
Anak sehat ditempelengi
Perdamaian, perdamaian
Perdamaian, perdamaian
Kredit bocor didiamkan
Kredit macet diributkan
Perdamaian, perdamaian
Perdamaian, perdamaian
Kebo kumpul dikubangan
Kumpul kebo dikontrakan
Tiga dari lima sajak lain yang tak kalah menggelikan adalah “Berak”, “Di Bawah Langit di Atas Bumi Tempat Berpijak”, dan “Bulan Sepotong Meronda Kota Jakarta”.
Atraktif
Sebelum Rendra dan Jose, sebenarnya telah ditampilkan penyair yang ingin melepaskan “mantera”-nya Sutardji Calzoum Bachri.
Penyair yang masih konsisten dengan pembacaan atraktifnya ini mengawali dengan “Berdarah”. Sajak itu ditulis tahun 1982, ketika ia masih mempertahankan kredonya, bahwa fungsi kata adalah pada bunyinya. Bukan karena kata sebagai alat komunikasi.
Disusul “Tapi”, “Taman”, “Tanah Air Mata”, dan “Jembatan”, yang merupakan karya terbarunya, masing-masing dicipta tahun 1992 dan 1993. Sajak Tardji memang mulai bergeser menjadi potret sosial, yang sekarang jadi pilihannya. Meski pada Tanah Air Mata, misalnya, gaya mantera itu masih membekas. Sebagai mana pada penggalan berikut:
Tanah air mata
Tanah tumpah dukaku
Mata air air mata kami
Airmata tanah air kami
Di sinilah kami berdiri
Menyanyikan air mata kami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar