Lepas tengah hari kami sempatkan ke Musholla di pinggir warung milik ibu paruh baya. Kami sempatkan bersih bersih, buang hajat, berwudhu serta menjma sholat. Matahari di musim hujan tak begitu menyengat, kami sadar berkelambukan awan. Setelah semuanya sudah dilakukan, kami menyiapkan diri breefing, berdoa lalu berangkat menuju puncak.
Dari bawah batu lembu terlihat, memang tak jauh, namun, gunung mana yang tak lelah didaki, sebut saja Obet, lelaki berjenggot yang mengantarkan kami dari Padalarang menuju Purwakarta ini, seluruh tubuhnya berkeringat. Namun semangat tak pernah lekang olehnya. Sesekali masih saja iya menuai canda.
Langkah demi langkah kami lalui, tak terasa hutan bambu yang menjadi etape pertama kami lalui, yang menarik dari jalur gunung Lembu, jalurnya diisi dengan lapisan ban mobil, mungkin pengelola ingin memanjakan kaki pendaki, bantalan ban yang disiapkan membang membuat lutut sedikit bersahabat, hingga tak terasa Pos satu kami gapai.
Kalaulah Gunung Lembu menjadi Album sang pemusik,. Maka ada judul di dalamnya, pohon, tanah dan batu batu. Tiga dimensi ini menjadikan karakter bagi gunung yang memiliki tinggi 792 MDPL ini.
Yang lebih dahsyat lagi, batu batu besar seperti dipeluk akar hingga tak koyak menimpa dasar tanah. Semut semut hitam penjadi wajib penghuni serasah daun kering, kadal, lebah, tenggeret, burung burung, monyet ekor panjang menambah elok lirik album gunung Lembu.
Hanya nafas dan keringat yang mampu membahasakannya. Pos satu menjadi tempat rehat bagi pendaki, ada warung disini, namun di hari biasa warung tutup. Maklum, dimasa Pandemi seperti sekarang ini, yang mendaki gunung Lembu bisa dihitung dengan jari.
15.17 WIB kami tiba di Pos satu. Kami, Restu, Chandra, Obet, Haunan, Yuwan dan saya dengan nafas tersengal mau berlama lama di sini, namun janji mengambil gambar di ketinggian sebelum mentari ke peraduan memang harus terwujud. Jadi kami lanjutkan lagi langkah demi langkah menuju di ketinggian.
Sepanjang jalur menuju puncak memang sangat jelas. Semuanya memiliki petunjuk, pengelola menyiapkan tambang jika jalur terjal, ada string line ketika jalur curam. Semuanya dibuat menjadi aman dan nyaman.
Sesekali angin menyapa rambut di ujung kepala, asoi dan sepoi, menambah semangat kami. Hingga tak terasa, jam tangan menunjukkan 16.04 WIB, kami tiba di Pos Dua, Batu Anying. Batu yang berbentuk kerucut yang patah, di atasnya membentuk orizontal hingga seperti kepala Anjing. Di sini kami berlama istirahat, menghabiskan sebatang rokok serta mengakrabkan diri satu sama lain dengan bicara tukar cerita.
Usai keringat sedikit mengering kami lanjutkan lagi mempertemukan tumit dengan batu, akar, tanah yang berada di perlintasan, gunung ini tidak dingin, maklum, belum sampai ketinggian 1000 MDPL.
Sesekali teriakan pendaki terdengar dari arah puncak, dalam mendaki dianjurkan untuk memakai sepatu, celana penjang, baju panjang serta topi pelindung, maklum di balik serasah banyak binatang melata yang bisa mengakibatkan bahaya biologi untuk kita yang menyambanginya. Jalan makin terjal, namun suara musik dari desa terakhir masih saja terdengar di bawa angin.
Kami terus berupaya, menpas rasa malas, menggapai kabut di ketinggian, waduk Jatiluhur makin jelas terlihat, pucuk pucuk pohon makin dominan terlihat, kalau beruntung, kita akan disambut monyet ekor panjang yang agak agresif mencari mangsa dari logistik pendaki.
Hal yang harus dipersiapkan adalah dengan tidak menaruh makanan yang mudah diraih oleh Makaka. 16.44 WIB kami tiba di bahu puncak Lembu. Dari sini terlihat batu besar ke arah waduk Jatiluhur. Jika ke kanan batu Lembu bisa kita tapaki, jika mengambil arah kiri maka 5 menit perjalanan akan menemui triangulasi Summit gunung Lembu.
Terbayar sudah rasa lelah, angin makin terasa di area ini. Kabut seperti memijat sikologi pendaki, maka paripurna lah semua semangat, percaya diri, kegembiraan, numplek semua jadi satu, Alhamdulillah, kening ini ku tempel dengan batuan besar itu, seraya bergumam, alhamdulilah, di usiaku yang kepala empat, masih diberi kesempatan untuk menyambangi puncak yang menjadi gunjingan pendaki di daerah Jawa Barat.
Lembu memberi nasehat pada diri, agar terus bersyukur. Bahwa banyak makhuk yang setiap saat bertasbih menyebut nama Sang Pencipta. Semut semut yang terus bekerja tanpa tidur, daun daun yang siaga di ketinggian memberikan oksigen bagi kehidupan. Batu batu dengan rela mengokohkan gunung menjadi perkasa. Demikianlah kalimat kami berenam mensyukuri hari ini, bersama diri berada di ketinggian.
Kami lantas menyiapkan kamera untuk mencari gambar matahari tenggelam, meski untung tak dapat diraih, kabut menutupi mentari hingga lembayung senja tak terwujud.
Meski demikian kami tak putus asa, saya putuskan untuk bermalam di bawah puncak gunung yang tertutup rimbun pepohonan.
Salam berbagai,
Fadlik Al Iman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar