Logat seperti bukan dari Bali, maklum orang laut, bahasanya kasar ucap Pak Parten seorang pengepul ikan tongkol di pantai Tukad Tiis. Ditambahkannya bahwa cengkoknya berbeda dengan orang gunung seperti di Kintamani, Bedugul dan sekitarnya.Sekilas ada yang mendengar bahasanya seperti Sulawesi, Madura namun bahasanya tetap Bali.
Tempat ini memang jauh dari hiruk pikuk wisatawan asing dan lokal, meski dari pantai Amed berjarak kurang dari 10 kilo meter namun tempat ini sangat sepi dari glamornya Bali yang diselingi dengan lalu lalang wisatawan asing. Tempat ini memang berbeda, pantainya berpasir hitam, jikalau ingin melaut masyarakat sekitarnya bisa berkilo kilo menempuh jalan darat ditambah lagi jalur menurut dengan kemiringan 20 sampai dengan 45 derajat menuruni dan menaiki tebing yang memiliki tinggi lebih kurang 40 meter.
Meski mencari ikan penuh dengan resiko masyarakatnya sudah biasa menjalani. Mereka semua memulai aktivitasnya dari jam 04.00 sampai dengan pukul 7 pagi di laut. Dengan bermodal bensin 15 liter, nelayan terus dihantui hasil tangkapannya yang terus berkurang, rejekinya makin menurun seperti sarat memulai hari sementara angannya menanjak seperti usai ia melaut.
Kehidupan nelayan disini memang selalu dihantui rintangan, biaya layar yang harus diganti enam bulan sekali, layar itu memiliki bentangan 27 meter, jadi kalau diperkirakan memakan ongkos sekitar Rp 400.000,- sementara biaya jaring yang kerap rusak juga meski dipikirkan nelayan. Ditambahkannya bahwa "Dahulu jaring lebih kuat dan memiliki diameter jaring yang lebih besar sehingga ikan yang kecil lolos terjaring, sementara sekarang ini jaring lebih kecil dan cepat rusah, itu mengapa penghasilan ikan nelayan berkurang.
Belum lagi jika mengupayakan hidup di darat dengan perbekalan ilmu pertanian yang terbatas rata rata mereka hanya bisa menanam jagung, itupun jikalau musim hujan ujar Pak parten. Meski hidup sederhana, mereka terus melakukan kehidupan kesehariannya dengan melaut dengan terus melalui jalur jang tidak terbilang mudah.
Seorang Dive master mengungkapkan bahwa jikalau menyelam saya bisa, namun mendaki seperti sekarang ini kaki saya gemetar seperti mau jatuh, sementara masyarakat di sini menganggap itu hal biasa karena kesehariannya. Mereka hidup survive dengan keterbatasan yang dimiliki, mendaki dan mencari ikan.
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman
Tempat ini memang jauh dari hiruk pikuk wisatawan asing dan lokal, meski dari pantai Amed berjarak kurang dari 10 kilo meter namun tempat ini sangat sepi dari glamornya Bali yang diselingi dengan lalu lalang wisatawan asing. Tempat ini memang berbeda, pantainya berpasir hitam, jikalau ingin melaut masyarakat sekitarnya bisa berkilo kilo menempuh jalan darat ditambah lagi jalur menurut dengan kemiringan 20 sampai dengan 45 derajat menuruni dan menaiki tebing yang memiliki tinggi lebih kurang 40 meter.
Meski mencari ikan penuh dengan resiko masyarakatnya sudah biasa menjalani. Mereka semua memulai aktivitasnya dari jam 04.00 sampai dengan pukul 7 pagi di laut. Dengan bermodal bensin 15 liter, nelayan terus dihantui hasil tangkapannya yang terus berkurang, rejekinya makin menurun seperti sarat memulai hari sementara angannya menanjak seperti usai ia melaut.
Kehidupan nelayan disini memang selalu dihantui rintangan, biaya layar yang harus diganti enam bulan sekali, layar itu memiliki bentangan 27 meter, jadi kalau diperkirakan memakan ongkos sekitar Rp 400.000,- sementara biaya jaring yang kerap rusak juga meski dipikirkan nelayan. Ditambahkannya bahwa "Dahulu jaring lebih kuat dan memiliki diameter jaring yang lebih besar sehingga ikan yang kecil lolos terjaring, sementara sekarang ini jaring lebih kecil dan cepat rusah, itu mengapa penghasilan ikan nelayan berkurang.
Belum lagi jika mengupayakan hidup di darat dengan perbekalan ilmu pertanian yang terbatas rata rata mereka hanya bisa menanam jagung, itupun jikalau musim hujan ujar Pak parten. Meski hidup sederhana, mereka terus melakukan kehidupan kesehariannya dengan melaut dengan terus melalui jalur jang tidak terbilang mudah.
Seorang Dive master mengungkapkan bahwa jikalau menyelam saya bisa, namun mendaki seperti sekarang ini kaki saya gemetar seperti mau jatuh, sementara masyarakat di sini menganggap itu hal biasa karena kesehariannya. Mereka hidup survive dengan keterbatasan yang dimiliki, mendaki dan mencari ikan.
Salam berbagi,
Fadlik Al Iman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar