Dalam tatap mata yang sempurna, melihat di luar pagar. Tebal kaki yang berdebu, membawa tamborin dari bekas tutup botol minuman. hanya seribuan digenggamnya. Menatap panas dalam hati yang terik, tidak sekolah, tidak lagi sekolah. makin menjauh dari kekanak kanakannya. Sendiri mengibas jalan raya.
Kulit mukanya dengan masker serbuk timah dan tembaga, tindik di kuping tanpa anting. Matanya yang kosong menyelimuti rambutnya yang pecah karena panas kehidupan. Lagi dan lagi, masih banyak cerita ini, pada tiap perempatan jalan, lorong lorong kota, di tepi danau limbah bahtera. lagi dan lagi terlalu banyak anak miskin yang tidak ditanggung Ibu. Ibu pertiwi, tidakkah kau punya rahim, tidakkah kau melahirkan anak, kau melupakannya dalam fatamorgama yang lama.
Pecah diterpa gosip, pecah tertutup langit gemerlap warna warni. nanar dihilangkan pebisis raja tega. Sembunyi sembunyi sambil menunggu giliran petugas penertib kota yang kelaparan uang jatah. Matamu yang kaca kaca, menyebut lambayan yang tak lagi dipeluknya. Ini hanya ini cerita untuk ibu.
Solmet,
-f@i-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar