Ada satu kisah merias diri, tanpa memperhatikan sekitarnya. Pagi sudah di depan kaca, siang ada di salon, malam di spa sebelum tidur. Pekerjaannya, menghabiskan uang suaminya yang geladak di tepi laut.
Ujung ujungnya suaminya tersingkap kasus korupsi, sementara wanita memiliki pria idaman lain. Apa yang dikejar dalam hidup, mengapa tak berbagi, apa cuma itu cerita hidup,menikmati makanan manis dan lembut, sementara seumur hidupmu belum pernah mengunyah sagon.
Berbeda dengan satunya, wanita yang ditinggal pergi orang tuanya. Bekerja sendiri mengumpulkan receh demi receh, belajar dan berdoa mengiringinya. Meski banyak orang mencoba, memberikan duri bersama bunga, membekap hidungnya dengan sapu tangan bius, namun cerita lain bicara.
Seperti analogi dalam gambar yang mungkin serupa, seorang pemilik nyawa diceburkan kelaut, ketika mulut dan hidungnya masih diatas air, maka selamatlah ia. Itulah masalah, tak ada persoalan yang tak selesai. Seperti hari ini, banyak orang yang ku ajak memunguti sampah, namun karena gaya hidup, lantas gengsi memungutnya. Hingga suara himbauan ku lantangkan sedikit. "Tak kan ada orang cantik akan berkurang kecantikannya, jikalau hanya karena memungut sampah". Semua tergantung kita, mau berpikir sendiri sendiri, atau menyelamatkan alam sekitar.
Yang cantik tetaplah cantik, yang gengsi seperti pasir, teramat banyak bahkan tak terlihat. Ibarat angsa di tumpukan sampah, meski sampah banyak jenisnya, mengulang ngulang baunya, namun angsa tetap nyaman dan tenang, tak bersalah, mau berbaur dalam hidupnya yang sepi. Tak mau menganggap dirinya cantik, tak mau di kenal orang, justru malu dan kabur bila kita mendekat. banyak orang yang mau mengenalnya. Tapi tak bisa bahasa angsa.
Salam,
f@i
Ujung ujungnya suaminya tersingkap kasus korupsi, sementara wanita memiliki pria idaman lain. Apa yang dikejar dalam hidup, mengapa tak berbagi, apa cuma itu cerita hidup,menikmati makanan manis dan lembut, sementara seumur hidupmu belum pernah mengunyah sagon.
Berbeda dengan satunya, wanita yang ditinggal pergi orang tuanya. Bekerja sendiri mengumpulkan receh demi receh, belajar dan berdoa mengiringinya. Meski banyak orang mencoba, memberikan duri bersama bunga, membekap hidungnya dengan sapu tangan bius, namun cerita lain bicara.
Seperti analogi dalam gambar yang mungkin serupa, seorang pemilik nyawa diceburkan kelaut, ketika mulut dan hidungnya masih diatas air, maka selamatlah ia. Itulah masalah, tak ada persoalan yang tak selesai. Seperti hari ini, banyak orang yang ku ajak memunguti sampah, namun karena gaya hidup, lantas gengsi memungutnya. Hingga suara himbauan ku lantangkan sedikit. "Tak kan ada orang cantik akan berkurang kecantikannya, jikalau hanya karena memungut sampah". Semua tergantung kita, mau berpikir sendiri sendiri, atau menyelamatkan alam sekitar.
Yang cantik tetaplah cantik, yang gengsi seperti pasir, teramat banyak bahkan tak terlihat. Ibarat angsa di tumpukan sampah, meski sampah banyak jenisnya, mengulang ngulang baunya, namun angsa tetap nyaman dan tenang, tak bersalah, mau berbaur dalam hidupnya yang sepi. Tak mau menganggap dirinya cantik, tak mau di kenal orang, justru malu dan kabur bila kita mendekat. banyak orang yang mau mengenalnya. Tapi tak bisa bahasa angsa.
Salam,
f@i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar