"Dangar-dangar barataan! Banua Banjar lamun kahada lakas dipalas lawan banyu mata darah, marikit dipingkuti Walanda!”
Artinya: Dengarkan semua! Tanah Banjar apabila tidak dibayar dengan air mata darah, selamanya akan digenggam Belanda (Penjajah).
Konon, wasiat itu dikobarkan oleh seorang Demang Lehman sebelum napasnya tandas di hadapan ribuan pasang mata yang menyaksikan hari eksekusinya.
Tiang Gantungan di Martapura
158 tahun silam, sebuah tiang gantungan menjadi babak paling ironik dari perjalanan seorang Demang Lehman. Bertempat di Alun-Alun Martapura, Lelaki Banjar itu meregang nyawa.
Tak ada gentar di rautnya, sebagaimana digambarkan H.G.J.L. Meyners dalam tulisannya Bijdragen tot de Geschiedenis van het Bandjermasinsche Rijk 1863-1866.
Sebelum menjemput ajal, lelaki bergelar Adipati Mangko Nagara tersebut melangkah dari kapal Saijloos ke daratan dengan dagu terangkat dan sorot mata tenang.
Hari itu, tepatnya 27 Februari 1869, dalam keadaan tengah berpuasa, ia membelah kerumunan warga Martapura dengan kemantapan. Kendati di tengah lokasi itulah menjuntai temali gantungan yang menantinya.
Sebuah dakwaan menjadi ihwal mengapa Demang Lehman dianggap harus dieksekusi. Kala itu, penguasa Belanda menuduhnya melakukan tindakan subversif yang mengancam tampuk kuasa.
Selang dua hari usai persidangan, Pemerintah Hindia Belanda pun akhirnya menjatuhi hukuman gantung yang dilaksanakan di Afdeeling Martapoera, oleh Orditur Militer, De Gelder.
Padahal Demang Lehman, dalam permintaan terakhirnya meminta agar ia bisa dieksekusi di Banjarmasin, akan tetapi karena pertimbangan pihak Belanda yang ingin memberi efek jera bagi perlawanan pribumi, maka eksekusi itupun digelar di sentra Martapura.
Tubuh dan Kepala yang Terpisah
Jerat tiang gantungan bukan akhir cerita. Setelah wafat, jenazah Demang Lehman langsung dimakamkan tanpa prosesi keagamaan yang patut.
Tragisnya, sebelum dikembumikan, kepalanya pun sengaja ditebas oleh pihak Belanda. Konon cara biadab itu dilakukan lantaran mereka meyakini jika sang pejuang bisa bangkit kembali.
Warga yang berduka di saat itu memilih bungkam dan tunduk di bawah bayang-bayang ketakutan ancaman Belanda. Mereka enggan ketahuan memiliki hubungan kekerabatan dengan lelaki yang dituduh pemberontak kelas kakap itu.
Fariz Fadhillah
https://banjarmasin.apahabar.com/post/kepala-demang-lehman-kembali-belanda-bisa-hilang-muka-l8xssqby